curhat colongan

Aku ingin menulis ini bukan sebagai bentuk protesku melainkan hanya ingin mengungkapkan apa yang aku rasa saat ini.
Aku tahu cepat atau lambat ini akan terjadi, tak ada yang bisa kusalahkan, siapapun atau bahkan apapun. Inilah hidup sebenarnya ketika kita dihadapkan dengan persoalan-persoalan yang akan membuat kita semakin dewasa, pengalaman adalah guru terbaik itu benar. Aku bingung, harus memulai tulisan ini dari mana. Aku bukan seorang novelis yang bisa menulis dengan sudut pandang yang begitu detail, lengkap dengan latar-setting dan hal-hal yang mendukung sebuah tulisan bisa di terbitkan. Aku juga bukan seorang penyair yang bisa mengungkapkan apa yang ia rasa dengan kata-kata indah. Bukan pula seorang penulis lagu yang dengan tangan dinginnya mampu menggubah lagu-lagu syahdu. Aku hanyalah seorang gadis yang berharap dapat mengubah dunia dengan caraku sendiri.
Masalah ini berawal ketika kemarin secara tak kuduga ibuku berbicara mengenai seseorang, Ya Allah rasanya seperti aku ingin menjerit berharap ini hanyalah mimpi buruk yang menghantuiku. Aku tahu aku tak akan pernah bisa berharap untuk sekedar membuka mataku yang menandai ini hanya mimpi. Ada seseorang yang ingin ta’aruf denganku. Aku pilih kata ini karena aku tahu dia tak hanya sekedar ingin mengenalku. Dulu ketika aku masih sekolah aku dilarang untuk memiliki pacar. Kata trendi dari orang jaman sekarang untuk menamai orang yang dia cintai. Aku paham aku maklum jika ibuku lebih mengharapkanku belajar lebih dulu, ada masa kapan ketika aku harus pacaran itu kata beliau. Aku ikhlas lakukan itu karena aku juga tak setuju dengan kata pacaran itu diperbolehkan. Bagaimana mungkin kita menghalalkan sesuatu yang tak sesuai dengan syariat. Sampai saat ini pun aku belum setuju bila menghalalkan seorang wanita dan pria berjalan berdua, gandengan tangan kemanapun mereka pergi. Dan melakukan hal-hal yang aku anggap lebih banyak mudharatnya daripada manfaatnya, aku juga belum menemukan dalil apapun baik naqli maupun aqli yang menyatakan itu diperbolehkan. Bahkan aku malah terjebak dengan sebuah dalil yang menyatakan bahwa “Janganlah kamu mendekati zina,…” Masya Allah, begitu jelas kata-kata itu. Meluruhkan segala idealis mereka tentang pacar diperbolehkan menurutku. Mendekati saja dilarang, ada batasan yang jelas bagiku. Hingga mungkin banyak orang yang aku lukai perasaannya. Pantas mungkin jika aku disebut fahzan gholidhol qalbi, si penumpah air mata. Aku tak mau menyebut siapa saja mereka yang pernah kulukai tapi, jika mereka membaca ini aku hanya berharap mereka akan mengerti. Aku hanya mampu menjauh karena aku tahu aku takkan pernah sanggup untuk bilang tidak. Aku juga bukan tidak tahu bahwa ada yang mencibirku di belakang, aku juga tidak menutup telingaku jika ada yang beranggapan aku munafik. Terlihat diam seperti gadis lugu tapi sebenarnya tidak, aku pernah mendengar secara langsung walau mungkin mereka tak tahu aku mendengarnya. Aku tahu telah membuat diriku digunjing dan itu artinya aku juga salah.
Aku tahu mungkin cara ku sangat childist tapi, aku memilih kabur tidak mau menemuinya karena aku sangat sadar jika aku mau bertemu dengannya aku tak akan lagi punya pilihan. Aku sangat mengenal ibuku jika ia menginginkan sesuatu ia harus dituruti dan itu akan jadi boomerang buatku. Walaupun beliau telah bilang tak akan memaksaku tapi aku tahu impossible terjadi. Aku tahu apa yang beliau inginkan demi kebaikanku. Tapi, apakah sebuah kebaikan itu selalu jadi kebaikan? Apa yang menurut kita baik belum tentu baik buat orang lain. Aku tahu kualitas imanku dan aku tahu jika aku salah pilih aku takut akan kufur terhadap nikmat allah, aku ingat ketika zaenab mengajukan cerai atas zaid bin haritsah, aku masih ingat apa alasan zaenab kala itu, “ ya Rasul, aku tahu dia adalah hamba allah, aku tidak meragukan kualitas imannya tapi aku takut aku kufur nikmat maka izinkan aku berpisah dengannya.” Bukankah allah juga tak menghalangi aku sebagai seorang wanita untuk memilih? Teringat kembali salah seorang hamba allah yang mengadu kepada rasulullah ketika itu ia telah dinikahkan dengan orang pilihan orang tuanya. Ia mengadu dengan menangis kepada aisyah hingga aisyah menyampaikan masalah ini kepada Rasul hingga dipanggillah gadis itu dengan orang tuanya dihadapan baginda rasul. “ benarkah kau telah menikahkan anakmu dengan si fulan?” benar ya rasul, dan apakah kamu telah bertanya kepada anakmu? Tidak ya rasul. Hingga rasul mengizinkan gadis itu untuk memilih melanjutkan atau tidak. Tapi gadis itu bilang “ aku terima perjodohan ini, tapi aku hanya meminta bahwa wanita muslimah lainnya berhak menentukan pilihan mereka” akankah aku seperti gadis itu?
Aku tahu benar apa yang membuat ibuku bertindak demikian, sangat tahu. Dia tak ingin aku menderita jika aku salah pilih nanti, dia juga tak ingin aku seperti gadis lainnya belakangan ini yang menikah karena telah hamil sebagai alasan. Aku juga tahu bagaimana ibuku berharap aku tak memiliki suami seperti bapakku yang menurut ibu hanya berfikir kerja dan makan tanpa memikirkan anak, atau apapun. Yang tidak bisa diandalkan kala ibu sedang membutuhkan. Ya Rabb, ini pilihan yang sulit buatku. Aku tahu cepat atau lambat ini akan terjadi. Tapi bukan saat ini, besok atau bahkan minggu depan. Masih ada yang ingin aku gambar dengan hal-hal yang lain dalam kertas kanvas hidupku. Masih ada harapan yang ingin aku raih. Masih begitu banyak mimpi. Aku bukan Aisyah yang harus menikah dikala umur 9 tahun, aku juga bukan naila yang rela menikah dengan umar ketika berusia 18 tahun sedangkan umar 81. Aku juga bukan seorang kartini yang mampu mengubah cara pandang seorang laki-laki terhadap perempuan hingga ia menjadi emansipator. Aku bukan seorang zaenab bin jasyi yang dinikahkan allah dengan rasul secara langsung. Aku juga bukan seorang zulaikha yang harus menggoda yusuf agar ia mau dengannya. Meski pada hakikatnya yusuf pun menyukai zulaikha jika zulaikha tahu. Aku tak jua seperti bilqis yang istananya dipindah sulaiman hingga ia menyembah allah dan menjadi istri sulaiman yang bijaksana. Aku bahkan tak sesempurna khadijah yang meminta rasul untuk menikah dengannya dengan cara indah. Aku juga bukan seorang ummu sulaim dengan mahar termahalnya islam terhadap abu talhah… Aku bukan mereka yang kualitas imannya tak diragukan lagi, aku hanya aku. Yang lemah tak berdaya tanpa uluran tangan sang maha Pengasih.
Aku hanya seorang anisa. Gadis yang berharap menjadi seoarang Fatimah yang berjodohkan Ali yang mampu menyembunyikan perasaannya hingga hanya allah dan dia yang tahu. Bahkan setanpun tak tahu perasaan Fatimah, tapi, allah begitu sayang padanya hingga allah mengabulkan pintanya disetiap munajah malamnya. May 12 th, 2011

0 komentar:

Posting Komentar